EDISI 19  
Januari - Maret 2000 

Menu Utama


Daftar Isi
Refleksi: Mainan yang ...
Memilih mainan yang ...
Perlukah Orangtua ...
Mainan Kesukaan Saya
Bagaimana menghargai ...
Kesehatan: Demam ...
Tanya-Jawab


Email
Email:
emailbox@cbn.net.id

Rubrik: Mendidik Anak

Perlukah Orangtua Bermain Bersama Anak?

Oleh : Heman Elia

ampaknya masih ada sebagian orangtua yang beranggapan bahwa yang penting bagi anak adalah belajar. Bahkan ada orangtua yang tidak terlalu senang bila anaknya bermain. Seolah bermain adalah sesuatu yang kurang penting dan membuang waktu.

Itu pula sebabnya sebagian orangtua beranggapan bahwa orangtua hanya berkewajiban mendidik anak pada saat menemaninya belajar dan menyiapkan pelajaran sekolahnya. Tidaklah perlu menemani anak bermain. Mendidik anak adalah suatu pekerjaan yang serius dan harus dilakukan secara serius pula. Dengan demikian, prinsip yang dianut orangtua yang berpendapat demikian adalah: "bermain adalah satu hal, sedangkan belajar merupakan hal lain". Sewaktu belajar tidak boleh bermain. Selagi bermain, anak tidak belajar apa-apa.

Saya setuju bahwa mendidik anak adalah suatu usaha yang perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan serius. Meskipun demikian, kuranglah tepat pendapat yang mengatakan bahwa setiap usaha mendidik hanya dapat dilakukan melalui nasehat dan pengajaran yang serius disertai hukuman dan celaan terhadap tingkah laku yang tidak diinginkan. Kurang tepat pula pendapat bahwa mendidik selalu melibatkan cara memaksa dan menekan anak melakukan sesuatu yang kita anggap baik.

Bila kita amati, Yesus mendidik murid-muridNya tidak hanya melalui kotbah dan pengajaran. Yesus juga membimbing murid-murid untuk turut mengalami peristiwa yang unik dan tidak terduga. Ada kalanya kejadian itu berlangsung bagaikan suatu permainan, namun sesudah itu diakhiri dengan pengajaran yang sangat mendalam. Salah satu contoh adalah ketika Yesus berjalan di atas air. Petrus yang takjub lalu tertarik untuk mencobanya. Reaksi Yesus sangat menarik, karena memberi kesan meladeni keinginan Petrus yang kekanak-kanakan. Yesus tidak secara spontan memberikan nasehat. Yang Yesus lakukan adalah membiarkan Petrus mencoba dan mengalami bagaimana berjalan di atas air dan setelah itu baru memberi arti pada peristiwa tersebut. (Wow, …….. andaikan saya juga dapat berjalan di atas air. Lucu dan unik, ‘kan ….. he … he..)

Kembali pada masalah permainan, sesungguhnya ada berbagai aspek mendidik dan melatih yang kita dapat lakukan lewat bermain. Pendidikan lewat bermain ini mampu memberikan beberapa keuntungan yang langsung dapat kita petik. Pertama, apa yang anak pelajari tidak hanya berupa pengetahuan akali semata, melainkan benar-benar dialami secara nyata. Pengalaman demikian umumnya lebih sulit dilupakan.

Kedua, pelajaran yang ingin kita berikan dapat diterima secara menyenangkan, karena terkait dengan sifat dasar permainan yang menghibur dan menggembirakan. Dengan demikian, kemungkinan penolakan anak terhadap apa yang ingin kita ajarkan diminimalisir.

Ketiga, karena permainan itu menyenangkan, bermain sekaligus membangkitkan minat yang besar bagi anak akan topik tertentu. Acapkali anak tidak terlalu suka terhadap bidang tertentu dalam hidupnya karena bidang itu terkait dengan hukuman dan celaan yang pernah diterimanya. Sebaliknya, permainan yang dirancang baik akan mengembangkan keterampilan anak dalam hal tertentu karena anak menyukai hal tersebut.

Keempat, latihan lewat bermain akan meningkatkan jalinan relasi yang manis antara orangtua-anak. Anak seolah lebih dekat dan lebih mau bekerja sama untuk mempelajari hal tertentu. Sekaligus anak juga akan terasa lebih dekat dan akrab dengan orangtuanya.

Apa Saja yang Dapat Diajarkan?

Berbagai keterampilan dan kemampuan ternyata dapat dilatih melalui permainan. Beberapa di antaranya dapat Anda simak berikut ini:

1. Permainan dapat meningkatkan keterampilan dan kecerdasan.
Berbagai permainan dengan memanjat, berlari, melompat, melempar memperkuat otot dan penguasaan keseimbangan tubuh. Bentuk permainan yang melatih otot dan olah tubuh ini terdapat pada berbagai olah raga. Bukan itu saja, olah raga juga mampu meningkatkan ketajaman mata dan kecepatan reaksi.
Keterampilan berhitung dan mekanika misalnya, dapat ditingkatkan melalui permainan menyusun balok, Uno atau Jenga, Lego atau Lasy, ular tangga, halma, monopoli, dakon, dan kartu domino.
Keterampilan berimajinasi dan dasar-dasar keterampilan membaca dapat dilatih dengan menggunakan jigsaw puzzle, merajut, dan menggambar. Sedangkan imajinasi sendiri dapat dilatih melalui berbagai alat sederhana, seperti pasir, daun, ranting, kain, sabun, kawat, tali, bahkan juga kursi yang disusun-susun, dan sebagainya.
Di lain pihak, permainan yang mengandalkan strategi dapat dilatih melalui catur, monopoli, dan sebagainya.

2. Permainan turut memperkenalkan aturan-aturan sosial kepada anak.
Ternyata budi pekerti dan cara mengadakan relasi sosial jauh lebih efektif bila dilatih dengan sarana bermain. Permainan yang penuh persaingan dan harus dilakukan secara berkelompok akan membuat anak peka terhadap kejujuran, tenggang rasa, solidaritas kelompok, fairness, kesetiaan, dan lapang dada untuk menerima kekalahan. Anak yang bermain tidak dengan mematuhi aturan sosial akan cenderung diisolasi dan disingkirkan teman-teman atau saudaranya. Sebaliknya, anak yang banyak memperhatikan dan menolong akan menjadi pemimpin teman-temannya.
Orangtua dapat berperan menghibur mereka yang kalah dan yang kurang dapat menerima kekalahannya. Atau menjadi pendamai di kalangan anak-anak yang bersaing. Orangtua pun dapat menjelaskan tentang pentingnya memegang aturan sosial. Atau dapat pula mengajarkan bagaimana memecahkan masalah tanpa menggunakan kekerasan.
Reaksi emosi yang ada kalanya keras dan kurang proporsional yang ditunjukkan anak dapat pula ditanggapi orangtua dengan mengajarkan reaksi yang lebih baik yang dapat diterima orang lain.
Kurangnya ruang dan waktu bermain bersama bagi anak-anak di perkotaan pada saat ini merupakan salah satu masalah yang harus kita pecahkan bersama. Namun paling tidak orangtua perlu pula mengawasi dan ada kalanya mengintervensi secara tidak berlebihan terhadap anak-anak yang bermain secara berkelompok.

3. Permainan melatih disiplin diri pada anak.
Bila anak bermain terus-menerus tanpa memikirkan kewajiban lain yang harus dilakukannya, itulah saatnya orangtua melatih anak untuk berdisiplin soal waktu. Bila anak bermain untuk menang tanpa mempedulikan cara licik yang dilakukannya untuk meraih kemenangan itu, kita wajib mengajarkan mereka apa artinya menahan diri dan mengorbankan kepentingan diri. Bila anak memaksakan keinginannya untuk bermain sesuatu yang kita larang, kita dapat melatih mereka untuk menguasai keinginan tanpa harus merusak lingkungan sekitarnya. Kita dapat melatih anak untuk meminta dengan cara yang benar, menaati peraturan keluarga, dan menguasai diri sendiri.

4. Permainan membuka minat dan peluang bagi anak untuk memasuki dunia dewasa.
Tanpa disadari, anak belajar memerankan kehidupan dewasa melalui bermain. Anak perempuan yang bermain masak-masakan atau merawat boneka yang sakit, anak laki yang bermain dokter atau insinyur-insinyuran menunjukkan perhatian anak akan rincian pekerjaan yang mungkin mereka masuki kelak. Orangtua pun dapat memberikan berbagai pengetahuan yang diperlukan anak dalam melakukan kegiatan "pura-pura" lewat aktivitas bermain ini.

Kita akan dapat menggunakan permainan untuk mendidik anak kita dengan dua prasyarat. Pertama, kita harus meluangkan waktu bermain bersama anak. Dengan demikian kita dapat mengamati kekurangan anak kita dan sekaligus melatihnya. Tanpa pengorbanan waktu, mustahil kita dapat mengajarkan atau melatih keterampilan yang anak perlukan.
Kedua, suasana keluarga yang harmonis akan sangat besar sumbangsihnya terhadap situasi bermain itu sendiri. Permainan yang biasa-biasa saja dan dari itu ke itu cenderung tidak membosankan anak bila relasi antar orangtua dan antar orangtua-anak terjalin baik.

Selamat mencoba!